UNSUR
EKSTRINSIK
1.
Nilai-nilai
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel
ini adalah
Ø Nilai Sosial
...kemiskinan telah menjadikan ibu
putus harapan memandang kehidupan dan pergaulan dunia ini, karena tali tempat
bergantung sudah putus dan tanah tempat berpijak sudah terban... (halaman 12)
Ø Nilai Agama
“ Ibu pun menunjukkan
kepadaku beberapa do’a dan bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum Ayah semasa
mendiang hidup, mengharapkan pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan serwa sekalian
alam memohon belas kasihannya ”. (halaman 13)
Ø Nilai Pendidikan
“Sekolah-sekolah Agama yang
di situ mudah sekali saya masuki,
karena lebih dahulu saya mempelajari ilmu umum, saya hanya tinggal memperdalam
pengertian dalam perkara agama saja, sehingga akhirnya salah seorang guru
menyarankan saya mempelajari agama di luar sekolah , sebab kepandaian saya
dalam ilmu umum”. (halaman
23)
Ø Norma Adat istiadat
“
Setelah tamat dari MULO, menurut adat, Zainab masuk dalam pingitan, ia tidak
akan dapat keluar lagi kalau tidak ada satu keperluan yang sangat penting, ini
pun harus ditemani oleh ibu atau orang kepercayaannya, sampai datang masanya
bersuami kelak.”
Ø Nilai Moral
“ …maka pada dirinya saya dapati
beberapa sifat yang tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak terdapat pada
pemuda-pamuda yang lain baik dari kalangan kaya dan bangsawan sekalipun. Sampai
pada saat yang paling akhir daripada kehidupan ayahku, belum pernah ia
menunjukkan Perangai yang tercela. Wahai Ros saya tertarik benar kepadanya” (halaman 53)
2. Idiologi
Dalam novel “
Diawah Lindungan Ka’bah tokoh Hamid menjadi sosok yang menjadicerminan bagi
sang penulis. Bukti:
Kutipan halaman 1 alenia 3:
“ Saya setuju maksud sahabat itu. Pertama adalah karangan
yag engkau maksudkan itu akan ganti
bingkisan kita kepada orang-orang yang menjadikorban itu, antaranya
kepada arwah mereka yang suci; kedua ialah untuk menjadi cermin perbandingan
kepada orang-orang yanghidupi belakang mereka”
Kuipan halaman 5
alenia 2:
” Melihat kebiasaannya yang demikian dan sifatnya yang saleh, saya
menaruh hormat yang besar atas dirinya.....”
3.
Biografi Pengarang
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih terkenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, dan juga politikus yang sangat
terkenal Indonesia. Buya HAMKa juga seorang pembelajar yang otodidak dalam
bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan
politik, baik Islam maupun Barat. Hamka
pernah ditunjuk sebagai mentri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa
kampong Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di
Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Hamka juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi, abunya dalam bahasa Arab,
yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul
Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun
1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi
Minangkabau.
Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin
karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda
tentang pelaksanaa ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam
Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA
bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP,
anggota DPRD DKI Jakarta. Anak angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese
yang masuk Islam.
Riwayat Pendidikan
HAMKA
HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya
sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera
Thalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa
Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti
Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sultan Mansur, R.M. Surjopranoto
dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai
seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujung Jauh. Pada usia 16 tahun ia
merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang
gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto,
dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training
pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman Yogyakarta.
Riwayat Karier HAMKA
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di perkebunan Tebing
Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,
Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi
rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo,
Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia
pindah ke Jakarta dan memulai kariernya
sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu
HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960,
beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada
26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA
sebagai ketua Umum Maljlis Ulama
Indonesia tetapi beliau kemudian
meletakkan jabatannya itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Riwayat Organisasi
HAMKA
HAMKA aktif dalam pergerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai
tahun 1925 untuk melawan khurafat,
bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di
Padang Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang
Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah
dan dua tahun kemudian beliau menjadi
konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto pada tahun 1949. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai
penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Aktivitas Politik
HAMKA
Kegiatan politik HAMKA bermula pada
tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai poltik Sarekat Islam. Pada
tahun 1945, beliau membantu menentang
usaha kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947. HAMKA
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk
Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan
Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream
politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan
komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di konstituante, HAMKA menyarankan
agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang
keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Soekarno.
Perjalanan politiknya bias dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan
melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh
dendam terhadap Soekarno. Ketika Soekarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam
shalatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap
HAMKA. “Ada yang mengatakan Soekarno itu komunis, sehingga tak perlu
disholatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bahi HAMKA, apa yang dilakukannya atas
dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Soekarno adalah seorang
muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966,
HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjarakan beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan
Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia
dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi
berbeda pandangannya dengan pemerintah. Pemicunya adalah Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama
puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika
tahun 1980 Mentri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa
yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai ketua MUI, HAMKA langsung menolak
keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana
pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta
Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur
sebagai ketua MUI.
Aktivitas Sastra
HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan
politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak
tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga
pernah menjadi editor majalah pedoman Msyarkat, Panji Masyarakat dan Gema
Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah
Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya
ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada tahun 1950, ia mendapat kesempatan untuk
melawat ke berbagai Negara daratan Arab. HAMKA menulis beberapa roman. Antara
lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai
Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang
lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah
Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks
sastera Malaysia dan Singapura. Setelah HAMKA menulis lagi di majalah baru
Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta
berjudul Demokrasi Kita.
Aktivitas Keagamaan
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya
pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total
berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji
Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bias dibaca
pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA
lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama pada tahun 1975.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat.
Tidak pernah beliau mengeluarkan
kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih
menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan
pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya
HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat
semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru
bagi HAMKA. Pada zaman pemerintah
Soekarno HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden
Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang’kebakaran jenggot’.
Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik
kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia
dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya “Panji
Masyarakat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang
berjudul “Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam
terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Soekarno. Ketika tidak lagi
disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi
dengan kuliah subuh di Masji Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Wafatnya HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah
pulang ke rahmatullah, jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam
memartabatkan agama islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh
ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero
Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Penghargaan
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA
telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari
Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas
Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguni
dari pemerintah Indonesia.
Pandangan HAMKA
Tentang Kesastrawan
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga
dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim
Amrullah Datuk Indono tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat
syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi;
kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; keempat,
memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Buah Pena Buya HAMKA
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya
gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya
yang dihasilkan Buya HAMKA tersebut dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang
tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik(Pidato Pembelaan
Peristiwa Tiga Maret, urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Umat Islam,
Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi),
akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih), dan olmu-ilmu keislaman (tashawwuf
Modern).