Senin, 10 Maret 2014

Unsur Ekstrinsik Novel Di Bawah Lindungan Ka'b



UNSUR EKSTRINSIK

1.     Nilai-nilai
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini adalah
Ø  Nilai Sosial
...kemiskinan telah menjadikan ibu putus harapan memandang kehidupan dan pergaulan dunia ini, karena tali tempat bergantung sudah putus dan tanah tempat berpijak sudah terban... (halaman 12)

Ø  Nilai Agama

“ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a dan bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum Ayah semasa mendiang hidup, mengharapkan pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan serwa sekalian alam memohon belas kasihannya ”. (halaman 13)

Ø  Nilai Pendidikan

“Sekolah-sekolah Agama yang di situ mudah sekali saya masuki, karena lebih dahulu saya mempelajari ilmu umum, saya hanya tinggal memperdalam pengertian dalam perkara agama saja, sehingga akhirnya salah seorang guru menyarankan saya mempelajari agama di luar sekolah , sebab kepandaian saya dalam ilmu umum”. (halaman 23)

Ø  Norma Adat istiadat
“ Setelah tamat dari MULO, menurut adat, Zainab masuk dalam pingitan, ia tidak akan dapat keluar lagi kalau tidak ada satu keperluan yang sangat penting, ini pun harus ditemani oleh ibu atau orang kepercayaannya, sampai datang masanya bersuami kelak.”

Ø  Nilai Moral
“ …maka pada dirinya saya dapati beberapa sifat yang tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak terdapat pada pemuda-pamuda yang lain baik dari kalangan kaya dan bangsawan sekalipun. Sampai pada saat yang paling akhir daripada kehidupan ayahku, belum pernah ia menunjukkan Perangai yang tercela. Wahai Ros saya tertarik benar kepadanya” (halaman 53)
 
2.   Idiologi
Dalam novel “ Diawah Lindungan Ka’bah tokoh Hamid menjadi sosok yang menjadicerminan bagi sang penulis. Bukti:

        Kutipan  halaman 1 alenia 3:

“ Saya setuju maksud sahabat itu. Pertama adalah karangan yag engkau maksudkan itu akan ganti  bingkisan kita kepada orang-orang yang menjadikorban itu, antaranya kepada arwah mereka yang suci; kedua ialah untuk menjadi cermin perbandingan kepada orang-orang yanghidupi belakang mereka”

Kuipan halaman 5 alenia 2:

 ” Melihat kebiasaannya yang demikian dan sifatnya yang saleh, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya.....”


3.       Biografi Pengarang

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih terkenal dengan  julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, dan juga politikus yang sangat terkenal Indonesia. Buya HAMKa juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam  maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai mentri agama dan juga aktif dalam  perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampong Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Hamka juga diberikan sebutan Buya, yaitu  panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abunya dalam  bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam  tradisi Minangkabau.

Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaa ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.

Riwayat Pendidikan HAMKA

HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan  masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sultan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar  Si Bujung Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang  gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman Yogyakarta.

Riwayat Karier HAMKA

  HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan  memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai ketua Umum  Maljlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian  meletakkan jabatannya itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.




Riwayat Organisasi HAMKA

HAMKA aktif dalam  pergerakan Islam  melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah  mulai tahun 1925 untuk melawan  khurafat, bid’ah, tarekat dan  kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau  menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau  terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1949. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Aktivitas Politik HAMKA

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai poltik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu  menentang usaha kembalinya penjajah  Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam  hutan di Medan. Pada tahun 1947. HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.

Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam  pidatonya di konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban  menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Soekarno. Perjalanan politiknya bias dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Soekarno. Ketika Soekarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam shalatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Soekarno itu komunis, sehingga tak perlu disholatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bahi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Soekarno adalah seorang muslim.

Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangannya dengan pemerintah. Pemicunya adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Mentri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai ketua MUI.

Aktivitas Sastra HAMKA

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah pedoman Msyarkat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada tahun 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai Negara daratan Arab. HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau  ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera Malaysia dan Singapura. Setelah HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

Aktivitas Keagamaan

Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total  berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan  sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bias dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama pada tahun 1975.

HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah  beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan  pesan-pesan moral Islam.

Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zaman  pemerintah Soekarno HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya “Panji Masyarakat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Soekarno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masji Al-Azhar, Jakarta Selatan.

Wafatnya HAMKA

Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah, jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Penghargaan

Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguni dari pemerintah Indonesia.

Pandangan HAMKA Tentang Kesastrawan

Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indono tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

Buah Pena Buya HAMKA

Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA tersebut dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik(Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Umat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih), dan olmu-ilmu keislaman (tashawwuf Modern).